agusfauzy

Kamis, April 14, 2011

KH Hamim Djazuli (Gus Miek)


KH Hamim Djazuli (Gus Miek)

KH Hamim Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri),Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
KH.ACHMAD DJAZULI USMANayah gus mik KH.Achmad djazuli Usman
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.
Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.
Ketika beliau berda’wak di semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas.Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan ,Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan
Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “jawab Gus miek
Adanya sistem Da’wak yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.

KH.MUBASSYIR MUNZIR

 Kediri, suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah satu tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak kader-kader handal  dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun Kabupaten, di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. 

Sebutlah di antaranyaPesantren Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih  dikenal dengan sebutan Pesantren Lirboyo, Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya. Pesantren-Pesantren tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran dan pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama bermuara pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.

Sementara itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas, terdapat suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal dengan nama Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren yang berafiliasi pada RMI (Rabithatul Ma’ahid Al-Islamiyyah), suatu organisasi/Asosiasi Perhimpunan Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu diantara lima Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari.

Sesuai dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib), disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal). Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any. Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan.

Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW. Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967 oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu. Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf, terutama peng-’Istiqomah’-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang lebih selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putra.

Barulah, pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri. Dan mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian Al-qur-an Bil-Ghoib (hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah adalah merupakan seorang Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan puteri dari Ulama terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga termasyhur sebagai Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun dalam bidang Ilmu-Ilmu Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab’ah.

Seiring dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma’unah Sari pun terus berkembang, baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang semakin representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib, masih terbatas pada kalangan Santri Putri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir. Pada tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.

Dengan iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa sangat kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma’unah Sari.Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat beliau, yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid. Beliau adalah putera dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.

Dengan kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah Mundzir. Dan dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan Pesantren yang didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri yang ingin menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga merupakan seorang penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab’ah. Selanjutnya,dibawah asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah, Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari-pun semakin tumbuh dan berkembang. Latar belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan berasal dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka Program Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.

Diantara para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus Pesantren-Pesantren kenamaan,seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren Tegalrejo Magelang, Pesantren Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus Pesantren-pesantren tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti kegiatan-kegiatan wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi diskusi-diskusi ala Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang mereka peroleh di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang kebetulan belum pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil hati, karena dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan bimbingan, melalaui Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar yang sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih kurang puas, mereka bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo. Selain itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan Tinggi, sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan mereka sesama santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata dan mengatur manajemen organisasi Pesantren, agar lebih solid dan efisien.

Gus Miek Bertemu KH. Hamid, Pasuruan

Gus Miek Bertemu KH. Hamid, Pasuruan

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek talah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenak kelebihan dan kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH. Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel tergangu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjudkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.

Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad Siddiq.“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid. KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan.Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.

Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal itu.Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.

Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.

Tiba-tiba di pekarangn rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”Amar mengangguk.“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yagn ternyata adalah KH. Hamid. 

KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-Syakaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hamper seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as Syakat. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan. 

Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung  Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata KH. Hamid .Gus Miek dan  kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH. Hamid.Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. 

KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.

Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-syakaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-syakaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syakaf.Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek.Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Syakaf.Habib Muhamad as-Syakaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syakaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.

Usai shalat, Habib Muhamad as-Syakaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Syakaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dn sisuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Syakaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa. 

Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Syakaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.
Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang  saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang memhami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran rumahnya).Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid. Ploso, jawab Maskur. Gus Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid .Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul.Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek, ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup.KH. Hamid kemudian membukakan jendela. Lihat, itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga.Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH. Hamid.Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.

Kisah Syekh Abdul Hamid Pasuruan

Kisah Syekh Abdul Hamid Pasuruan

KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang,Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuhPesantren Salafiyah, Pasuruan

Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga olehkeluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya.Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak danistrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah,sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamidlahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah,pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara,lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudarakandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim,Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masihhidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.

Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiahseorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulamadi Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. AhmadShiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatanyang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranyayang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anakkeempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umursembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua,untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, KiaiHamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil,sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.

“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya.Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaumsufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orangtertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secaranyata.

Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalianseseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama diLasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar dipesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahunkemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersamakeluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindahke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desasekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannyasebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudahcukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi.Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulamaterkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” MenurutIdris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukanbobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman.Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersamaorangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengantekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar diPasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.

Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H.Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak,satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup,yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.

Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak denganmudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumahyang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari iamengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker)sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong,Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisahyang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mauakur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama,Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamidmerasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara.Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelahbayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya barubeberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ketempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan,seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinyaselama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikianrupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yangmengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga,ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapatcobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”,katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. MenutIdris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya.Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewatketeladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untukhal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajarmenyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lainyang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membacaal-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitumereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya kepesantren lain.

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberipengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti.Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke babberikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dandiajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkanadalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karyaImam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukanilmunya itu sendiri,” jelasnya.

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantrensalafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal denganspesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat(gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagaisuatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah limawaktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengankegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikutioleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecualikepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu,khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggusekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh olehpengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Merekatidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember,bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkanadalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiappengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagaiteladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita.Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imamAl-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayahal-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak duniasama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez,tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannyacukup baik, meski tidak terkesan mewah.

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaianmaupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihanpakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah.“Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kalikepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang sukamengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekangnafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahuitu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamidmemakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O,rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli rotidalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminyakulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti.Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. AbdulHamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus.Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akanmenghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memangselalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yangterbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) sepertidianjurkan Nabi.

Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapatmenyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa.Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan olehsiapapun.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamidterbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenaikepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalambentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilahAbdurrahman Wahid tentang sifatnya.

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secaralebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial KiaiHamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang“egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasalepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosialislam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meskitidak tuntas.

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepadakeluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya.Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetanggaterdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secararutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untukmengawinkan atau mengkhitan anaknya.

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwabila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP.10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan haridi mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelahmenunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagailayaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakatfitri.

Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dantetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dansarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainyadari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurangdari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah dibulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauhakan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri darisikap sosialnya yang kuat.

Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yangtinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri danadik iparnya, “Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid.”Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling keMushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang- biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Disamping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehinggamembuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yangmengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangatdiseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orangmengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.

Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah oranglain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahanterhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk berceritamengenai yang menjadi masalahnya. “Ceritakan kepada saya apa yangmembuatmu gundah,” desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telahberkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelahdibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakanmasalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya.

Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekuranganuang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid.Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untukmaksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain seringdihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik hajiatas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.

Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri ataudirenovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat,kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsairenovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama initak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uangdari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masingpanitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan.

Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengankomitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yangsederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watakkepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidakmenonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikandiri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yangsuaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi disitulah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar JawaTimur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan KiaiHamid.

Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmudi Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahirdengan nama Mu’thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah hajiyang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi,memanggilnya dengan Hamid saja. “Nama saya memang Hamid saja, Bah(Ayah),” katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu.Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkankitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yangberisi akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliauadalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakanmengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, 
 
ada sumber lainmenyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
http://anangqhosym.blogspot.com/2010/11/kisah-syekh-abdul-hamid-pasuruan.html

Rabu, April 13, 2011

Mengharap Ridlo Illahi

 بســــــــــــــــم الله الرحمن الر حيـــــــــــــــــــــــم
Dengan nama ALLAH yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.


Firman Allah S.W.T (maksudnya):

" Dan mereka yang tetap memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang berhak mewarisi. Yang akan mewarisi syurga Firdaus; mereka kekal di dalamnya. " [QS. Al-Mukminun:9-11]


Dari Abu Said Al-Khudri r.a meriwayatkan bahawa beliau mendengar baginda Rasullullah SAW bersabda. " Sembahyang lima waktu akan menjadi kifarah kepada dosa-dosa yang dilakukan diantara kedua sembahyang tersebut. Iaitu dari satu sembahyang ke sembahyang lain jika melakukan dosa-dosa kecil akan terampun berkat sembahyangnya. Kemudian baginda Rasullullah SAW bersabda: Tidakkah kamu lihat kalau seorang yang bekerja disebuah kilang akan terdapat lima buah anak sungai yang mengalir dihadapan rumahnya. Apabila dia bekerja sudah pasti dipenuhi dengan kotoran, debu atau peluhnya dan setiap kali dia berlalu disungai tersebut dia akan mandi didalamnya. Adakah terdapat kotoran-kotoran lagi? Begitulah juga halnya dengan sembahyang yang mana dengan doa dan istighfarnya diampuni dosa-dosanya yang lalu dengan berkat sembahyangnya. " (HR. Bazzar, Tabrani)

Dari Abdullah ibn Qurtd r.a meriwayatkan bahawa Rasullullah SAW bersabda : " Perkara pertama yang akan dihisab bagi seorang hamba pada hari Kiamat ialah sembahyang. Sekiranya sembahyangnya baik, maka amalan-amalan yang lain akan diterima dan jika sembahyangnya rosak, maka semua amalan-amalan yang lain akan rosak. " (HR. Tabrani, Targhib)

Abu-Laits berkata: " Siapa yang ingin selamat dari siksaan kubur maka harus melazimi (membiasakan diri) empat dan meninggalkan empat iaitu:

1. Menjaga sembahyang lima waktu
2. Banyak bersedekah
3. Banyak membaca al-quran
4. Memperbanyak bertasbih (membaca: Subhanallah walhamdulillah wal'aa ilaha illallah wallahu akbar, walahaula wala quwata illa billah)


Semua yang empat ini dapat menerangi kubur dan meluaskannya. Adapun empat yang harus ditinggalkan ialah:

1. Dusta
2. Khianat
3. Mengadu domba
4. Menjaga kencing, sebab Nabi Muhammad s.a.w pernah bersabda: " Bersih-bersihlah kamu daripada kencing, sebab umumnya siksa kubur itu kerana kencing. (Yakni hendaklah dicuci kemaluan sebersih-bersihnya.) "



Riwayat daripada Ibnu Umar Radhiallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Maksudnya: " Sesungguhnya apabila seseorang kamu meninggal dunia akan dibentangkan kepadanya tempat duduk pada waktu pagi dan petang. Sekiranya dia ahli syurga maka dia penghuni ahli syurga dan sekiranya dia ahli neraka maka dia adalah penghuni ahli neraka. Lalu dikatakan kepadanya: " Inilah tempat dudukmu sehingga Allah membangkitkan engkau semula di hari Kiamat. " (HR. Bukhari)


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates